Fakultas Sastra Tidak Mencetak Sastrawan

oleh Zuliati
Disunting oleh Zulfi Al Hakim

Apa definisi sastra menurut Anda?

Wah, ini susah. Apa yang bisa dianggap sebagai sastra. Sastra secara umum diartikan sebagai tulisan. Semua bentuk tulisan, seperti undang-undang, sejarah, novel, babad, dan lain sebagainya itu bisa disebut sebagai sastra. Oleh sebab itu, fakultas sastra disebut sebagai fakultas sastra karena fakultas sastra berhubungan dengan semua bentuk tulisan tersebut.

Semua bentuk tulisan itu memerlukan penafsiran, maka dari itu semua bentuk tulisan itu disebut sastra, dan penafsiran atas tulisan tersebut dapat dilakukan di fakultas sastra. Seiring dengan perkembangan waktu, pengertian sastra diterbitkan dan dikatakan bahwa sastra itu karya yang bersifat imajinatif atau rekayasa pengarang.

Tapi kemudian timbul masalah, apakah sejarah atau babad itu bukan sastra? Padahal sejarah atau babad itu ditulis berdasarkan fakta begitu juga novel atau karya sastra yang lain, ditulis berdasarkan fakta dengan dibumbui fiksi. Akhirnya banyak orang bilang bahwa sastra adalah bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari, dan dalam nilai karya sastra, jangan dilihat dari isinya, tapi bahasanya. Dari asumsi tersebut kemudian diambil kesimpulan bahwa sastra adalah segala sesuatu yang oleh masyarakat tertentu dan dalam masa tertentu dianggap sebagai sastra.

Dapatkah dikatakan bahwa Fakultas Sastra adalah induk dari semua fakultas di sebuah perguruan tinggi?

Belum tentu, sebab meskipun sastra itu luas sekali cakupannya, seperti filologi atau lebih lengkapnya bisa dilihat di buku Ikhtisar Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, namun mereka mempelajari tulisan-tulisan tersebut dengan sudut pandang masing-masing.

Mengapa banyak sastrawan dan kritikus sastra lahir bukan dari Fakultas Sastra? Bagaimana dengan kegiatan akademis mahasiswa dan dosen sastra selama ini?

Sebenarnya, kita belajar di Fakultas Sastra ini bukan untuk jadi sastrawan. Tidak ada yang bilang bahwa mahasiswa Fakultas Sastra harus jadi sastrawan. Sebab, sesungguhnya di Fakultas Sastra kita belajar tata bahasa, sejarah, tata baku, perpustakaan, dan filsafat.

Di Fakultas Sastra tidak ada mata kuliah yang mendidik mahasiswa untuk menjadi sastrawan. Jika ada yang bilang mahasiswa Fakultas Sastra mesti jadi sastrawan, itu 100% salah. Sastrawan tidak harus lahir dari Fakutlas Sastra. Mahasiswa dari semua fakultas dan semua jurusan di sebuah perguruan tinggi berhak menjadi sastrawan sebab mata kuliah untuk menjadi sastrawan tidak diajarkan di fakultas manapun dan memang mata kuliah tersebut tidak ada. Jadi, jika ada mahasiswa dari fakultas selain Fakultas Sastra yang menjadi sastrawan itu disebabkan kekreatifan sendiri, kemauan membaca, dan mempelajari karya sastra. Jadi, mahasiswa kedokteran bisa jadi sastrawan. Mahasiswa teknik bisa jadi novelis. Mahasiswa ekonomi bisa jadi kritikus. Mahasiswa sastra bisa jadi sastrawan.

Saya menjadi sastrawan bukan karena saya menjadi alumni Fakultas Sastra, tetapi sebelum masuk Fakultas Sastra saya sudah menulis. Contoh lagi, Rendra. Dia menulis sejak SMP. Satu lagi, Chairil Anwar, dia lulusan SMP, tetapi dia bisa menjadi sastrawan yang terkenal. Jadi, kita tidak bisa menyalahkan.

Kalau demikian, apakah keberadaan Fakultas Sastra itu masih harus dipertahankan?

Memang sebagian sastrawan berasal dari fakultas lain, seperti Marga T. yang dari kedokteran. Masalahnya, sastra itu milik orang banyak dan semua berhak belajar dan kemudian menjadi sastrawan. Mahasiswa sastra memang diharapkan bekerja di bidangnya, tetapi kalau mereka bekerja di luar bidangnya, itu terserah mereka. Jadi, universitas hanya mengajarkan ilmu tertentu, masalah nanti setelah keluar dia mau jadi apa, itu sudah bukan urusan universitas lagi.

Tidak ada salahnya jika mahasiswa kedokteran setelah lulus menjadi sastrawan atau politikus, atau mahasiswa sastra menjadi manajer atau sekretaris. Itu semua tergantung dari minat dan kemampuan masing-masing. Jangan menyalahkan fakultas sastranya. Sebab, Fakultas Sastra sebenarnya menghasilkan ahli tata bahasa, pustakawan, sejarawan, dan filsuf, bukan sastrawan. Jika Fakultas Sastra dihapus, apakah orang seperti Pak Harimurti (Prof. Dr. Harimurti Kridalaksana, Red.), orang seperti Ibu Ikram (Prof. Dr. Achdiati Ikram, Red.) bisa lahir?

Keahlian untuk menjadi pustakawan, ahli bahasa, atau sejarawan hanya bisa dipelajari di Fakultas Sastra. Mungkin mahasiswa dari fakultas selain sastra bisa mengetik dan menulis, tetapi untuk menjadi pakar atau ahlinya kita mutlak belajar di Fakultas Sastra.

Bagaimana kiprah mahasiswa sastra terhadap dunianya saat ini?

Dalam hal sastra atau untuk menjadi sastrawan tidak ada. Karena Fakultas Sastra tidak bertujuan untuk mencetak sastrawan. Jika ada mahasiswa yang mengatakan masuk Fakultas Sastra untuk jadi sastrawan, maka lebih baik keluar saja dari Fakultas Sastra. Apalagi kalau ada yang berkata bahwa apa yang dipelajari di Fakultas Sastra bisa dipelajari sambal lalu atau sebagai kegiatan sampingan di luar jam kuliah, maka mahasiswa itu adalah mahasiswa yang bodoh banget.

Mahasiswa di semua fakultas mutlak banyak membaca, terutama mahasiswa di Fakultas Sastra. Jika mahasiswa tidak mau membaca, maka dia tidak akan bisa apa-apa nantinya. Jika ada yang mengatakan bahwa Fakultas Sastra itu rendah kualitasnya dan apa yang dipelajari di sana bisa dipelajari sambal lalu oleh mahasiswa di fakultas selain sastra, suruh menghadap saya, biar nanti takbodoh-bodohin dan saya buka matanya tentang hakekat sastra yang sesungguhnya.

*Wawancara ini pertama kali terbit di Majalah Gaung No.1 Tahun 1999

Posting Komentar

0 Komentar