Fenomena Sastra Digital di Indonesia: dari Fiksi Penggemar hingga Jejak Plagiarisme





Ceria IKSI Juli

Narasumber: Maman S. Mahayana, S.S., M.Hum.

Penulis: Arifah Azmuna dan Raditha Maryam

Penyunting: Adinda R. Syam

Tentang Sastra Digital

Pada hakikatnya, sastra berkaitan erat dengan situasi dan perkembangan zaman sebagai bentuk sikap para sastrawannya. Saat ini, perkembangan dunia maya telah memasuki tahap yang luar biasa. Kehadiran smartphone telah “menghancurkan” berbagai bidang usaha, salah satunya media cetak. 

Sastra dalam media cetak tentu lebih menuntut kesungguhan penulis dalam proses pembuatan karyanya serta sangat bergantung pada redaktur pada muatannya. Proses yang panjang dan keterlibatan banyak pihak ini membuat orang-orang perlahan mulai beralih ke sastra digital. Dunia maya-lah yang bertindak sebagai sarana utama sastra digital telah memungkinkan orang untuk mendistribusikan karyanya dengan mudah dan cepat. 

Dari sisi kuantitas, dunia digital yang lentur memungkinkan produksi karya yang lebih cepat dibandingkan media cetak. Tidak adanya redaktur atau editor, kolom komentar pun menjadi salah satu sarana penilaian suatu karya dalam sastra digital. Umpan balik berupa like, subscribe, dan vote juga menjadi patokan bagus tidaknya suatu karya sastra. 

Berbanding terbalik, sebanyak apapun kuantitas karya dalam sastra digital seolah tidak menjamin kualitasnya. Kualitas dalam sastra digital menjadi sebuah fenomena yang sering kali dipersoalkan. Hal ini didasari atas terlenanya penulis dengan jumlah umpan balik yang didapat, sehingga mulai mengabaikan kualitas karya sastra mereka. 

Sikap ini sangat berbahaya karena dunia maya sangatlah luas pun kita perlu berhati-hati dalam menyebarkan suatu konten atau karya agar tidak merugikan pihak-pihak lain. Hal ini juga akan menjadi masalah baru apabila karya mereka diangkat ke media cetak, tetapi kualitasnya begitu buruk. 

Untuk mengeliminasi situasi tersebut, para penulis harus dapat meningkatkan kualitas karya mereka dalam sastra digital. Cara-cara yang bisa ditempuh adalah dengan latihan menulis, banyak membaca sejarah, dan mencari inspirasi atau referensi melalui karya-karya sastra yang populer. 


Fiksi Penggemar

Dalam era sastra digital, ditemukan banyak cerita dengan genre fiksi penggemar (fan-fiction). Pesatnya perkembangan genre ini nyatanya tidak diiringi dengan dukungan yang sama besarnya dari para pengamat sastra. Dalam pandangan mereka, fiksi penggemar merupakan karya “rendahan” yang hanya berupa pengandai-andaian belaka.

Menurut Maman Mahayana, fiksi penggemar merupakan karya temporer yang senantiasa berganti karena kurang dapat bertahan dengan buruknya kualitas cerita. Banyaknya karya fiksi penggemar dengan kualitas rendah tidak juga menggeneralisasi bahwa semua fanfiction itu buruk. Pun pada kenyataannya, masih banyak karya fanfiction dengan kualitas bagus yang dibuktikan dengan dicetaknya karya-karya tersebut menjadi sebuah buku.

Salah satu pesan yang disampaikan beliau adalah jika ingin membuat fiksi penggemar, janganlah terlalu memuja tokoh tersebut karena cenderung terjadi penonjolan subjektivitas. Apabila terlalu memuja, kita bisa jadi terpeleset untuk memitoskan tokoh tersebut. Lebih baik, jadikanlah tokoh tersebut sebatas inspirasi saja dalam karya. Buat dan bangunlah satu tokoh sesuai pandangan dan kemauan kita. Dengan demikian, kita dapat terus mengembangkan karya tanpa hidup dalam bayang-bayang sang tokoh idola.


Fiksi Penggemar dalam Sastra Digital

Dalam karya fiksi penggemar, perlu ada penghindaran penggunaan nama idola yang persis sama karena dapat menimbulkan pencemaran nama baik. Pun perlu ada pengembangan tokoh idola agar yang tidak merujuk pada nama tertentu. 

Beranjak dari hal tersebut, kita akan menemukan jejak plagiarisme yang cukup banyak ditemukan dalam karya-karya sastra digital. Karya-karya dalam media Wattpad misalnya, dengan mudah mengambil karya asing yang hanya diterjemahkan begitu saja. 

Dalam penerapannya, isu plagiarisme karya ini tidak dengan mudah diangkat dalam ranah hukum karena harus melalui proses yang panjang. Namun, tentu ada sanksi sosial dan akademik yang sekiranya dapat mencegah plagiarisme. Untuk itu, sebagai penulis yang cerdas cukup jadikan karya yang berkualitas sebagai landasan pengembangan karya yang spektakuler. 

Perkembangan karya sastra digital yang pesat juga memungkinkan terjadinya pengulangan tema atau plot yang berujung klise. Tak jarang, detail plot yang sama membuat orang berpikir bahwa antara satu karya dengan karya lainnya terdapat unsur plagiarisme. 

Namun, menurut Pak Maman, kesamaan tema atau plot cerita dalam sastra digital yang sering dianggap sebagai plagiarisme sebenarnya bukanlah masalah. Pada dasarnya, masalah manusia itu tidak jauh berbeda. Untuk itu, tentulah ada persamaan di antara konflik atau plot dalam cerita yang mereka jadikan inspirasi. 


Konklusinya,

Sastra digital telah menghadirkan fenomena-fenomena baru dalam kesusastraan Indonesia. Mulai dari peningkatan kuantitas, pengabaian kualitas, fenomena self-publish, menjamurnya fiksi penggemar, dan maraknya plagiarisme. Fenomena tersebut juga menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat.

Simpang siur yang ada dalam sastra digital sebenarnya bukanlah masalah besar. Pada akhirnya, orang pasti akan memilah pun menyeleksi karya mana yang berkualitas. Secara alamiah, dapat dikatakan bahwa dipastikan karya yang bisa bertahan adalah karya dengan kualitas baik.

“Jadilah diri sendiri,” pesan Pak Maman Mahayana untuk mahasiswa yang sedang bergelut mempublikasikan karyanya dalam dunia digital. Perlu juga ditekankan bahwa kualitas karya adalah yang terpenting!

Kembangkanlah diri dengan kapasitas yang mumpuni untuk dapat melahirkan karya sastra berkualitas. Terlebih lagi sebagai mahasiswa sastra Indonesia yang telah memahami ilmu-ilmu terkait karya-karya sastra. Perbanyak perbandingan suatu karya dengan karya yang lain. Jangan juga hanya membaca karya sastra Indonesia tetapi luaskan bacaan ke karya-karya sastra negara lain. Salam sastra! 



Posting Komentar

0 Komentar