Menilik Fiksi Sejarah: Hanya Imaji ataukah Fakta Tersembunyi?



Penulis: Siti Sahira Aulia

Penyunting: Adinda R. Syam


Jika menelisik dalam perkembangan karya-karya fiksi di Indonesia, kisah sejarah menjadi “genre” yang kini mendapat banyak sorotan. Kisah historikal dibalut kalimat sastra yang khas menjadi ajang baru bagi pembaca mengetahui sekelumit mengenai kesejarahan. Namun, beberapa karya terperosok terlalu dalam ke lumbung fiksi yang lalu melabeli karya tersebut sebagai serangkaian fakta.

Pada umumnya, sejarah yang ada dalam fiksi sejarah hanya berfokus pada satu unsur sastra, seperti latar atau tokoh.

Hal tersebut jelas menyatakan bahwa fiksi sejarah tidak dapat secara penuh dikategorikan sebagai fakta layaknya buku nonfiksi.

Label fiksi merupakan garis nyata yang pasti karena karya tersebut merupakan bagian dari imajinasi penulis.

Popularitas fiksi sejarah menjadikan beberapa kisah, terutama dalam bentuk novel, menarik perhatian banyak pembaca. Sebut saja dengan eksistensi karya fiksi sejarah Leila S. Chudori, yakni Laut Bercerita dan Pulang yang berlatar salah satu kejadian bersejarah di Indonesia. Di sisi lain, Eka Kurniawan baru-baru ini juga merayakan 20 tahun dari terbitnya sebuah karya sejarahnya yang bertajuk Cantik Itu Luka. Jika menelaah lebih jauh, banyak karya-karya sastra berbau sejarah yang ditulis para sastrawan, seperti Ronggeng Dukuh Paruk dan Trilogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, pun cerpen-cerpen karya Seno Gumira Ajidarma.

Tak sedikit dari karya tersebut yang dengan luas diperbincangkan publik. Hal itu membuat beberapa karya sejarah menempati posisinya tersendiri bagi pemerhati bacaan di Indonesia. Kenyataan itu berbanding lurus dengan apa yang terjadi pada informasi yang beredar di masyarakat saat ini. Salah satu novel dengan genre fiksi sejarah yang banyak diperbincangkan dikabarkan akan bertransformasi ke media lain, yakni ke dalam bentuk serial di Netflix. Karya fiksi sejarah dengan judul Gadis Kretek digadang-gadang sedang dalam proses produksi untuk segera ditayangkan tahun ini.

Kisah di balik novel tersebut bahkan sudah diterbitkan ke dalam beberapa bahasa, yakni bahasa Inggris, Jerman, dan Mesir. Sejarah perihal perkembangan industri kretek di Indonesia ditulis oleh pengarang, Ratih Kumala, dari proses riset dari usaha kretek keluarganya. Tidak heran kisah ini akan diangkat ke dalam versi berbeda mengingat penulis dengan apik menjabarkan jatuh-bangun industri kretek di zaman pendudukan para penjajah.

Meskipun berangkat proses riset mendalam, novel ini tetap menjadi bagian dari karya fiksi yang hakikatnya berangkat dari imajinasi pengarang. Keberadaan nyata yang konkret dan kredibel jelas bukan bermuara pada karya fiksi sejarah, melainkan teks-teks nonfiksi yang jelas-jelas menuangkan kesejarahan dengan lebih terstruktur. Para sejarawan tentu berperan banyak terhadap sejarah-sejarah menilik dari proses panjang dengan metodologi ilmiah lainnya.

 Hal yang ingin disampaikan di sini bukanlah serta-merta untuk menjatuhkan klaim fiksi sejarah sebagai bualan. Keduanya pun bukanlah sesuatu yang dijadikan sebagai perdebatan perihal mana yang benar dan salah. Pun karena fiksi sejarah hadir sebagai pelengkap kerumpangan yang terjadi dengan perspektif yang lebih terbuka. Keberadaan perbedaan tentu tidak dapat dipungkiri. Sejarah dan sastrawan misalnya, di antara keduanya mungkin pernah hadir di bidang ilmu yang sama. Dari konteks inilah fiksi sejarah dapat digunakan sebagai pembanding dari sudut pandang sastrawan yang melakukan riset di balik peristiwa historis di suatu masa.

Di sisi lain, jelas kemunculan karya fiksi sejarah yang menjadi magnet bagi sekian banyak pembaca telah membuktikan bahwa karya-karya dengan model ini dapat memberikan peran khusus bagi penulis. Bukan hanya membungkus cerita dengan apik, melainkan turut berkontribusi untuk mengedukasi lewat riset yang dilakukan dengan mendalam. Dengan demikian, fiksi sejarah dapat—secara mentah—menjadi jembatan untuk mengenal sedikit sejarah yang pernah tertuang di suatu masa.


Posting Komentar

0 Komentar