Penyusun: Adin & Upik
Kemarin (17/11), setelah dua tahun hiatus, Teater Pagupon menyajikan pementasan ke-104 berjudul “Mesin Penghancur Abad”. Dengan sinopsis yang mengarahkan penonton pada pencarian kebenaran tidak berujung, ini adalah bentuk sindiran yang unik melalui seni pertunjukan.
“Seorang Narator tidak bernama menyajikan sebuah cerita mengenai fenomena kebijakan pemerintah yang memengaruhi terjadinya masalah di dalam sebuah masyarakat yang absurd.
Plot yang abu-abu, pemeran yang keliru, dan tiga babak dalam satu pementasan ini adalah media menginsinuasi. “Mesin Penghancur Abad” adalah kritik sosial dari apa yang terjadi belakangan ini. Secara keseluruhan, pertunjukkan ini adalah simbolis pemeran yang menyiratkan tokoh-tokoh sumber masalah. Mulai dari pemuka agama yang hilang dalam khotbahnya; aktivis kemanusiaan dengan orasinya; pembawa berita dengan giringan opininya; hingga presiden yang tuli atas suara rakyatnya adalah bahan bakar kekelaman yang ditunjukkan melalui tiga babak kehidupan.
Saya sebagai penikmat yang kebetulan hadir untuk membeli rasa puas seakan dibombardir oleh tiga babak penuh pertanyaan. Keseluruhan babak yang dipentaskan adalah bentuk tiga tahap kehidupan manusia sejak masih ada di dunia, di pintu tunggu keputusan surga, dan berujung tiba di neraka. Semua pihak yang memperjuangkan haknya atas kemanusiaan dan egoisme akan kembali menjadi satu dalam panggung berjudul “akhirat”. Lantas, apakah kita masih layak memperdebatkan kebenaran yang batil dan tidak berujung?
“Mesin Penghancur Abad adalah persoalan representasi tokoh khas seniman yang menggunakan ikon-ikon dalam karyanya,” menurut Aji, salah satu penonton yang memberikan opininya. Saya menyetujuinya karena lima pemeran yang memberikan pesan tersirat melalui orasi monolog mampu membungkam saya sebagai penonton dengan gelisah dan kebingungan.
Pada akhirnya, pertunjukkan ini adalah perdebatan perspektif penonton yang mengira-ngira tentang di manakah mereka–para pemain–berada. Entah si A yang berkata bahwa mereka telah mati karena tipu daya dan kehendak Narator saat masih di dunia, hingga si B yang mengira puncak kematian kelimanya adalah takdir alam semesta di tempat menunggu surga atau neraka.
Satu pertanyaan yang timbul di benak saya adalah tentang kejelasan hubungan tiap babak yang seperti klaim mereka, yaitu “absurd” adalah sajian yang nyata. Apakah tujuan utama pementasan ini hanyalah memberikan penonton makian atas omong kosong pemerannya? Pun mengakhirinya dengan penutup babak yang memicu trauma? Namun, mengutip kata Salwa–salah satu penonton juga– “Justru ini adalah daya tariknya.”
0 Komentar