Teater Pagupon 104: Lahir Kembali dalam Simbolisme dan Representasi


Narasumber: Lintang Caesaria & Raehan Fadillah

Penyusun: Upik & Adin


Mengenal “Mesin Penghancur Abad”

Teater Pagupon kembali menggelar pertunjukkan teaternya setelah dua tahun mandek karena pandemi. Pagelaran yang bertajuk “Mesin Penghancur Abad” ini dipentaskan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 17 November 2022. Pementasan Teater Pagupon ke-104 ini menceritakan tentang empat orang tokoh dan satu Narator anonim. Keempat tokoh tersebut saling memperdebatkan “kebenarannya” masing-masing dengan Narator yang berperan sebagai pengatur jalannya cerita.


Pementasan ini dibagi menjadi tiga babak. Babak pertama adalah ketika keempat tokoh saling menyuarakan  “kebenarannya” secara bergantian. Dimulai dari “The Prophet”, dilanjutkan oleh “The Activist”, “The Host”, dan diakhiri “The President”. Narator muncul dalam setiap babak dengan mesin tiknya untuk membawa sebuah pesan tersirat.


“Bahwa setiap individu pada akhirnya akan mempercayai ataupun menciptakan kebenarannya masing-masing dan dia direpresentasikan oleh Sang Narator dan mesin tiknya,” ujar Rae, sapaan akrab Raehan Fadillah, Sutradara, Aktor, dan Penulis Naskah dalam pementasan Pagupon ke-104.


Pada babak kedua, latar tempat berubah ke tempat yang “sakral”, yaitu ruang tunggu ke alam lain dengan lampu warna-warni menyilaukan sebagai latar belakang. Pada babak ini, baru terlihat obrolan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Mereka saling berdebat untuk membuktikan siapa yang paling benar. Terakhir, babak ketiga mempertunjukkan seluruh tokoh termasuk Sang Narator. Panggung hadir bersama dengan simbolisme topeng gas, boneka bayi yang hancurkan, serta penghakiman Sang Narator oleh keempat tokoh yang diakhiri dengan epik dan brutal.


Lahir Kembali Setelah Pandemi

Momen pementasan ke-104 ini merupakan kelahiran kembali Pagupon setelah sempat hiatus dua tahun karena pandemi. Dalam produksi kali ini, Pagupon yang secara formal merupakan salah satu biro di bawah naungan IKSI atau Ikatan Kekeluargaan Sastra Indonesia, mendapat bantuan dari banyak pihak eksternal. “Banyak banget temen-temen dari luar juga. Dan kalau dari UI nggak cuman dari IKSI, ada dari FISIP, FMIPA, dan lain-lain. Jadi sebenernya kemarin itu campuran dari beberapa kampus sih. Ada IKJ dan kampus-kampus di Jakarta,” tegas Lintang, Produser pementasan Pagupon ke-104.


Sebelum hiatus, Teater Pagupon sempat hampir menampilkan sebuah pementasan. Namun, Lintang menyatakan bahwa materi yang ditulis oleh Rae untuk pementasan ini sepenuhnya baru. “Full semuanya baru, materi lama kita simpan, masih ada bekasnya. Semoga (materi lama) bisa ditampilkan di masa depan,” tambah Lintang. “Sempat ditawarin ketua artistik tahun lalu untuk pakai naskahnya. Tapi, karena biaya banyak jadi nggak dan kebetulan Si Rae juga ada naskah,” pungkasnya.


Pertunjukkan Teater Pagupon terakhir sebelum pandemi adalah pementasan ke-103 yang berjudul “Pintu Tertutup”. Pementasan tersebut digelar di Gedung 10 FIB UI oleh tim produksi mahasiswa IKSI angkatan 2016 dan 2017. Biasanya, sudah menjadi budaya bahwa Teater Pagupon melakukan pementasan sebanyak minimal satu tahun sekali. Namun, karena keadaan pandemi terakhir hal itu tidak dimungkinkan.


Membawa Harapan

Hal yang mendorong Lintang untuk segera melaksanakan pementasan bersama Teater Pagupon adalah ambisi dan semangat dari teman-temannya. “Sebenernya dulu waktu pandemi gue malah jadi aktor di pementasan yang hampir terlaksana. Cuma karena gagal gue rasa daripada nggak produksi dan Pagupon nggak jalan, gimana kalau gue jadi ketuanya aja? Karena kalau jadi ketua ‘kan lo bebas untuk berkreasi juga di sana. (Hal) itu juga didukung oleh temen-temen yang lain,” tegasnya.


Pementasan ini telah dipersiapkan selama enam bulan dan dijadwalkan pentas pada bulan September lalu. Akan tetapi, karena beberapa hal, pementasan ini mundur ke bulan November. “Kurang lebih enam bulan, untuk pementasannya. Sebenernya mau tampil bulan September tapi karena satu dan lain hal, kita mundur ke November,” kata Lintang.


Harapan Lintang untuk pementasan Pagupon selanjutnya adalah agar orang yang bekerja di dalamnya dapat bekerja sepenuh hati karena dalam proses produksi yang cukup besar diperlukan fokus dan hati yang lapang. “Pasti banyak problematika yang dihadapi tapi kalo kerja dalam tim pasti ada solusinya”. Sementara itu, lebih mendalam, Rae berharap agar Pagupon yang baru ini hidup dengan warna, nyawa, dan rasa yang berbeda dalam setiap pementasannya.


Representasi adalah Ekspresi Pementasan 

Hal yang cukup menarik perhatian adalah munculnya bentuk simbol-simbol yang merepresentasikan banyak hal. Misalnya, mesin tik yang digunakan oleh Narator dalam pembukaan babak pertama. Rae mendapatkan inspirasi Mesin Penghancur Abad” dari karya Afrizal Malna yang berjudul “Mesin Penghancur Dokumen” dan “Abad yang Berlari”. 


“Dari kedua buku tersebut dan lingkungan gue, dalam proses kreatif penciptaan naskah tersebut, penggunaan mesin tik dari postingan poster ilegal sampai mesin tik di pementasan kemarin adalah penggambaran dari ‘kebenaran yang diciptakan’, the truth that people created”, dan Narator ini representasi dari banyak hal,” jelas Rae.


Berbeda dengan keempat tokoh yang ada dengan penggambaran cukup mudah diterka di dunia nyata, “The Narrator” adalah sebuah konsep yang cukup abu-abu. “Secara konsep terinspirasi dari Stanley Kubrick yang selalu punya The Narrator untuk menyajikan cerita-ceritanya. Bedanya, gua memvisualisasikannya menjadi sebuah sosok,” tambah Rae.


Sementara itu, topeng gas yang digunakan oleh Narator—yang pada babak ketiga juga digunakan oleh seluruh tokoh—dijelaskan Rae sebagai representasi dari orang-orang yang menjaga kebenarannya dari sumber-sumber yang tidak relevan dengan dirinya.


Secara umum, naskah “Mesin Penghancur Abad” terinspirasi dari surah Al-Kafirun dalam Al-Quran, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dari sana pikiran gua bercabang banyak banget,” imbuh Rae. 


Sudut Pandang Simbolisme

Pada akhirnya, perdebatan antara “kebenaran” mana yang lebih tepat diakhiri dengan topeng gas sebagai representasi tiap tokoh yang tetap berusaha untuk menjaga “kebenarannya” sendiri.


Menurut Rae, pembahasan yang dibawakan tidak berat, melainkan niche. Ia juga mengatakan bahwa topik dan bentuk penyajian kemarin bukanlah bentuk seni pertunjukan gaya pop pada umumnya. Naskah tersebut bahkan tidak mudah untuk diperankan menjadi sebuah pementasan.


Hal lain yang cukup menarik perhatian adalah adanya adegan yang cukup esktrem pada akhir babak ketiga. Rae menjabarkan bahwa adegan tersebut sebenarnya tidak harus dilakukan, tetapi karena pementasan ini adalah rangkaian panjang yang serius, ia mempunyai alasan tersendiri kenapa “main ekstrem”. “Memang tau tekniknya aja. Ada cara tersendiri dari bagaimana gua mengekspresikan sesuatu,” tambahnya mengenai adegan ekstrem tersebut.


Jika ada hal yang bisa dikritisi terkait pementasan 104 tersebut adalah tidak adanya Trigger Warning yang disampaikan. Baik dari sisi adegannya yang cukup eksplisit maupun karena kilat lampu yang menyilaukan. “Sebenarnya sudah kasih TW. Tapi, di H-beberapa jam karena agak miss sedikit saat publikasi (poster) tentang Trigger Warning,” pungkas Lintang.


Posting Komentar

0 Komentar