Sadar Lingkungan dalam Acara Nobar Film Dokumenter Batang Toru: Napas Terakhir



Penyusun: Justine & Adin 


Sabtu lalu (3/12), Gudskul Jakarta diramaikan oleh acara nonton bareng (nobar) dan diskusi film Batang Toru: Napas Terakhir. Film dokumenter ini diprakarsai oleh kolaborasi tiga Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu Satya Bumi, Green Justice Indonesia, dan Walhi Sumatera Utara. 


Film berdurasi 30 menit tersebut menceritakan tentang Batang Toru, sebuah hutan di daerah Sumatera Utara dan bagaimana hutan tersebut menyimpan kekayaan flora dan fauna yang luar biasa. Dikatakan bahwa satu hektar dari hutan tersebut memiliki lebih dari 300 spesies pohon. Jumlah ini bahkan disebut-sebut lebih banyak dari jumlah spesies pohon yang ada di seluruh Eropa.


Batang Toru juga disebut merupakan habitat bagi setidaknya tiga satwa utama: harimau sumatera, tapir, dan orangutan tapanuli. Orangutan tapanuli atau Pongo tapanuliensis ini mendapat perhatian khusus karena spesies ini tidak ditemukan di daerah lain di dunia dan bahkan saat ini sudah terancam punah. 


Hal yang menjadi fokus sorotan dalam film ini tidak lain tidak bukan adalah bagaimana industri—dalam hal ini pertambangan, PLTA, dan illegal logging—telah mengancam keberadaan hutan Batang Toru beserta seluruh makhluk hidup yang bergantung padanya.


Berbicara sedikit tentang film tersebut, film ini sedikit banyak mengingatkan kami pada Sexy Killers, sebuah film dokumenter yang dirilis di saluran Youtube WatchDoc. Film tersebut menyoroti bagaimana penambangan batu bara dapat memengaruhi kehidupan masyarakat di sekitar tambang. Sebagaimana permasalahan ini juga berkaitan dengan urgensitas dalam film Batang Toru, yaitu permasalahan krisis air bersih.


Jelas bahwa film Batang Toru menggambarkan dengan kritis bagaimana pencemaran air sungai yang disebabkan oleh kegiatan industri (di dataran tinggi) akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar sungai yang sama (di dataran rendah).


Acara nobar ini dihadiri oleh berbagai kalangan, terutama mahasiswa, jurnalis, dan tentunya para aktivis lingkungan. Kegiatan ini juga dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan empat orang narasumber: Dana Tarigan dari Green Justice Indonesia, Sheila Kharismadewi dari YEL-SOCP, Annisa Rahmawati dari Satya Bumi, dan Deon Arinaldo dari Institute of Essential Services Reform. 

(Foto: Acara Nobar Batang Toru/Dokumentasi GAUNG)


Selain berdiri sebagai campaign utama, film ini menitikberatkan pada peran orangutan bagi ekosistem, rencana penyelenggaraan COP15 di Montreal, dan kegiatan industri yang berpotensi melanggar HAM adalah sebagian dari topik-topik dalam kegiatan diskusi tersebut.

(Foto: Acara Nobar Batang Toru/Dokumentasi GAUNG)


Secara nyata, film ini adalah produk awareness bagi kita semua untuk menyadari bahwa permasalahan lingkungan bukan hanya tanggung jawab warga lokal, melainkan juga kita sebagai manusia yang berkaitan dan bergantung pada alam. Melalui film ini, ketiga LSM ini ingin memberikan bukti nyata bahwa ada kehidupan masyarakat yang terancam oleh kepentingan segelintir orang semata.


(Foto: Acara Nobar Batang Toru/Dokumentasi GAUNG)



Sebagai penutup, "Jadi apa yang selama ini mereka (warga lokal) lakukan, kearifan lokal seperti apa, itu harus diadopsi untuk mendorong kebijakan yang lahir nantinya. Nah ini sekarang coba dirumuskan apa wilayah perlindungan yang cocok untuk dilindungi agar tidak sembarangan lagi izin masuk," tutur Dana, Direktur Green Justice Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar