Bisakah Kita Melalui Duka dengan Mencuci Piring?

Penulis : Theresella Mercy
Penyunting : Nurramadhina A. Daradjat

Pandemi kemarin, aku kehilangan kakek dan bibi dalam rentang waktu yang tak jauh. Ketika kakekku meninggal dan keluargaku pergi melayat ke Bangka, bibiku masih ada menyambut dan menerima kami di sana. Lalu, tak sampai sebulan berselang, penyakit bibi tiba-tiba bertambah parah dan ia menyusul kakekku berpulang ke Surga. Sampai hari ini kenangan akan kepergian mereka berdua masih mengundang perasaan campur-aduk di benakku. 

Berkaca dari pengalaman pribadi, aku tahu kalau bicara soal duka dan kematian bukanlah hal yang mudah. Topik pembicaraan ini selalu menguakkan luka, entah lama ataupun baru, yang tentu tak nyaman. Tak semua orang tahu bagaimana menghadapi kehilangan yang mungkin masih bertengger lama setelah sosok yang berharga pergi meninggalkan. 

Namun, suatu waktu, aku menemukan sebuah buku yang judulnya menggelitik mata: Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring. Bagiku frasa ini menarik dalam banyak aspek: pembicaraan mengenai cara pria menghadapi duka bukanlah diskursus yang jamak ditemui; dan pembicaraan soal mencuci piring untuk melalui duka bukanlah hal yang wajar dibicarakan. Buku ini ditulis oleh dr. Andreas Kurniawan, Sp. KJ – seorang psikiater yang baru saja kehilangan anaknya. Banyaknya faktor yang menarik membuatku akhirnya memutuskan untuk membaca buku ini – dan membuktikan teorinya. 

Rupanya ada banyak hal yang bisa direnungkan dari kegiatan sesederhana mencuci piring. Apalagi, bagi seseorang yang baru berduka, banyaknya waktu yang kita habiskan dengan pikiran kita sendiri tentu perlu diisi dengan sesuatu yang menenangkan hati. Menurut buku ini, duka itu kurang lebih sama seperti mencuci piring: tidak ada orang yang mau melakukannya, tapi pada akhirnya seseorang perlu melakukannya – demi kebaikan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Duka juga, seperti kegiatan mencuci piring, perlu dilalui dengan setahap demi setahap. Tak perlu terburu-buru, tak perlu bersegera, karena pada akhirnya, tak ada yang peduli seberapa banyak piring yang bisa kau selesaikan dalam sehari – yang penting semuanya bersih dan wangi. 

Buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring ini juga menarik karena Andreas, sebagai seorang psikiater, memiliki segudang teori keilmuan yang selalu ia terapkan ketika berhadapan dengan pasien. Namun, ketika duka itu harus ia hadapi sendiri, semua teori ini seakan tak berguna. Kehilangan terbesar dalam hidupnya, kehilangan sang anak, membuat Andreas harus mencari makna pribadi tentang kehilangan, duka, dan kematian – lebih daripada sekadar yang ia pelajari di bangku perkuliahan. Penceritaan santai dengan sedikit tambahan bumbu humor gelap menjadi bukti bagaimana Andreas akhirnya berhasil menerima kehilangannya sebagai bagian penting dari hidup yang tak akan bisa ia lupakan. 

Sebagai seseorang yang masih menyimpan duka di salah satu sudut terdalam hatinya, aku merekomendasikan buku ini bagi siapa saja yang merasa memerlukannya. Entah sekarang atau nanti, keterampilan berduka akan berguna saat otak kita sudah tak mampu berpikir jernih.



Posting Komentar

0 Komentar